Tiap hari hanya bisa mendengar
dengusan napas orang-orang. Tiap hari hanya mampu menyenangkan hati orang
sesaat. Tiap hari hanya mampu duduk diam mendengar kedongkolan orang-orang. Entah
hadirku yang tak begitu tepat ataukah tempat yang kudiami tidak begitu tepat
untuk membuat orang-orang yang datang merasa senang. Itulah tugasku. Menjadi
pendengar dan menjadi tempat bersandar oleh siapapun mereka yang ingin
menikmatiku.
Jika bisa kupersentasikan dari 20
orang yang mengunjungiku, 15 orang di antaranya harus pulang dengan muka kesal
yang berlipat-lipat. Entah apa alasannya. Padahal udara di sini begitu sejuk,
saat di luar sana matahari memanggang tubuh tanpa ampun sama sekali. Padahal
ada air mineral dan secangkir minuman hangat yang tersedia gratis di sini, saat
di luar sana butuh usaha untuk mendapatkan seteguk air. Jika itu belum cukup,
ada seorang penunggu yang baik hati bersedia menyediakan minuman yang anda
inginkan. Ada bonus lagi. Mereka yang menggunakan jasaku, setiap saat bisa
melihat para perempuan molek berpakaian apa adanya sedang berlenggak-lenggok
lagak bak peragawati profesional. Jika mereka berani dan cukup beruntung,
sekali kerlingan mata bisa mendapatkan nomor HP atau pin BB dari salah satu
perempuan itu. Kurang apalagi?
Aku hadir melengkapi segala
kenyamanan yang ada. Hadirku memberi kenyamanan bagi tamu yang datang
mengantri. Aku mungkin nampak biasa-biasa saja, bahkan terkesan diam membatu.
Tapi itu tak membuat mereka mengindahkan niatnya untuk menggunakan jasaku. Ada
yang hanya sekedar menyentuhku beberapa saat, bahkan ada yang tak segan-segan
menikmatiku hingga sejam atau dua jam penuh tanpa henti.
Kadang aku hanya tertawa geli saat mendengar
komentar mereka yang menikmatiku. “Empuk”, katanya. Kadang, jika dalam keadaan
segar bugar, mereka bahkan berani mengajakku bermain tebak-tebakan untuk
menebak tempat asalku. Salah satu dari mereka menyebut mungkin asalku dari
Jepara, karena bentukku yang begitu detail dan sempurna. Satu dari yang lain
mengatakan saya berasal dari Turki, karena kelembutan yang kumiliki khas Timur
Tengah. Bahkan ada yang menyebutkan saya berasal dari Jerman karena kulitku
yang halus dan putih. Kata mereka saya
begitu anggun tapi tak nampak lemah, saya tetap kuat menahan segala macam
benturan, berapa lamapun menggunakanku mereka selalu melihat saya tetap empuk
dan montok tanpa rasa sakit.
Tapi, selang beberapa saat, muka
dongkol mereka mulai muncul. Sebagus apapun pelayananku, sekuat apapun menahan
bobot tubuhnya, dongkol itu tetap datang. Sepertinya bukan karena pelayananku
yang kurang atau karena air gratis yang habis. Terlebih lagi bukan karena
perempuan-perempuan solek itu tak menarik di mata atau tak membangkitkan sisi
kelaki-lakiannya sama sekali.
Sepertinya mereka sudah terlalu
letih dipaksa menunggu tanpa kepastian. Menunggu hanya untuk mendengar
penolakan. Menunggu hanya untuk melihat respon muka lurus tanpa rasa bersalah. Atau
bahkan parahnya lagi, beberapa dari mereka tak bertemu dengan orang yang
dinanti. Kesal dan meledaklah mereka akhirnya.
Akulah yang menjadi sasaran. Tak
jarang pukulan mendarat di bahuku, tendangan harus melesat keras ke arah
pergelangan kakiku. Bahkan jika mereka sangat kesal, ada yang tega menyiramiku
dengan sengaja. Sakit rasanya. Baru saja dipuja, selang beberapa waktu saya pun
harus merasakan sakit.
Apapun itu, sekalipun sakit dan
nyeri yang aku dapat, tak akan pernah membuatku pergi dari tempat ini. Setiap
yang dicipta punya fungsi dan kegunaan masing-masing, termasuk diriku. Fungsi
dan kegunaan itu tak akan bisa aku berikan ke yang lain, jika diriku tidak
berada di tempat yang tepat. Dan di sinilah tempatku yang paling tepat. Tempat yang
telah dinisbahkan untukku mengabdi. Di ruang tunggu yang akhirnya tetap menjadi
tempat sementara untuk menanti. Tempat menumpahkan segala sakit hati. Tanpa
pernah diingat lagi. Tapi, kuingin bilang kepada mereka bahwa aku akan akan
tetap berada di sudut ini menunggu dan terus menunggu mereka tanpa imbalan.
0 komentar:
Posting Komentar